Embusan AC dalam pesawat City Link yang membawaku dari Batam ke Surabaya menelusup langsung masuk ke pori-pori kulit. Hampir 2 jam lebih berada dalam pesawat, membuat tubuh ini terasa dingin. Suasana itu berubah drastis begitu menjejakkan kaki di Bandara Juanda Surabaya. Panas dan gerah kumpul jadi satu.
Ya itulah Surabaya. Seperti halnya kota megapolitan di Indonesia, Ibukota Provinsi Jawa Timur ini sudah sesak dengan pohon beton yang bertebar di mana-mana. Membuat cuaca Surabaya di musim kemarau begitu panas menyengat. Tak mau berlama-lama di Surabaya, kulanjutkan perjalananku menuju Kota Malang. Kota yang penuh dengan kenangan. Hanya butuh waktu sekitar 2 jam dengan menumpang bus dari Terminal Purabaya untuk sampai ke Kota Malang. Perjalanan ini bisa sedikit lama jika di daerah Porong, tempat lumpur Lapindo terjadi kemacetan.
Jejeran pepohonan dan barisan pegunungan langsung menyapaku ketika sampai di kawasan Lawang. Daerah yang jadi pintu masuk Kota Malang. Semilir angin plus suasana sejuk mulai terasa kembali menusuk pori-pori kulitku.
“Tamales Ngatad id Ngalam”. Sebuah tulisan ukuran besar di spanduk membentang di salah satu ruas Kota Malang. Artinya, Selamat Datang di Malang. Salah satu ciri khas Malang adalah bahasa walikannya. Bahasa yang dibaca dari belakang. Jadi jangan heran jika Anda menjejakkan kaki di Malang akan melihat penduduk lokal berbicara sehari-hari dengan bahasa walikan.
Karena hari sudah mulai gelap, kuputuskan untuk menginap di Kota Malang. Mengumpulkan energi guna melanjutkan perjalanan ke salah satu tujuan utamaku jika datang ke Kota Apel ini. Puncak Batu. Menyeruput kopi panas khas Malang dengan ketan sebagai “teman” santapannya sungguh mengasyikkan.
Dinginnya Puncak Batu
Pagi baru menyapa. Jam sudah menunjuk di angka 7. Saatnya melanjutkan perjalanan ke Puncak Batu. Puncak ini berada di Kota Batu. Atau sekitar 15 km sebelah barat Kota Malang. Tak sampai satu jam perjalanan, tubuhku sudah mulai menggigil akibat terpaan cuaca dingin daerah pegunungan.
Tempat ini merupakan tempat favorit warga Malang khususnya, dan Jawa Timur umumnya untuk menghabiskan waktu liburan. Terletak di ketinggian 680-1.200 meter dari permukaan laut dengan suhu udara yang rata-rata 15-19 derajat Celsius. Menjadikan Puncak Batu selalu berhawa dingin.
Jalanan berkelok ciri khas pegunungan mewarnai perjalananku menuju puncak. Selain sebagai kawasan wisata, daerah Batu juga menyimpan cerita sejarah yang panjang. Sejak abad ke-10, wilayah Batu dan sekitarnya telah dikenal sebagai tempat peristirahatan bagi kalangan keluarga kerajaan.
Pada waktu pemerintahan Raja Sindok, seorang petinggi Kerajaan bernama Mpu Supo diperintah Raja Sindok untuk membangun tempat peristirahatan keluarga kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat mata air. Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti.
Atas persetujuan Raja, Mpu Supo yang konon kabarnya memiliki kesaktian, mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan. Dibangunlah sebuah candi di kawasan ini yang diberi nama Candi Supo.
Di tempat peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dingin dan sejuk. Mata air dingin tersebut sering digunakan mencuci keris-keris yang bertuah sebagai benda pusaka dari kerajaan Sindok. Karena sering digunakan untuk menyuci benda-benda kerajaan yang memiliki kekuatan supranatural, akhirnya sumber mata air yang semula terasa dingin dan sejuk berubah menjadi sumber air panas. Sampai saat ini, sumber air panas ini tetap abadi di kawasan Wisata Songgoriti.
Asal Usul Batu
Perjalanan panjang menjadi cerita sendiri kawasan Puncak Batu. Kota Batu yang terletak di dataran tinggi di kaki Gunung Panderman berdasarkan kisah-kisah dan dokumen yang ada, hingga kini belum diketahui tentang kapan “B A T U” mulai disebut untuk menamai kawasan peristirahatan tersebut.
Dari beberapa cerita yang ada, Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro yang bernama Abu Ghonaim atau disebut sebagai Kyai Gubug Angin yang oleh masyarakat setempat akrab menyebutnya dengan panggilan Mbah Wastu. Dari kebiasaan kultur Jawa yang sering memperpendek dan mempersingkat mengenai sebutan nama seseorang yang dirasa terlalu panjang, akhirnya lambat laun sebutan Mbah Wastu dipanggil Mbah Tu menjadi Mbatu atau batu sebagai sebutan yang digunakan untuk Kota dingin ini.
Melihat sejarah ke belakang, Abu Ghonaim sendiri sebenarnya berasal dari JawaTengah. Ia adalah pengikut Pangeran Diponegoro yang setia, dengan sengaja meninggalkan daerah asalnya Jawa Tengah dan hijrah di kaki Gunung Panderman untuk menghindari pengejaran dan penangkapan dari serdadu Belanda.
‘Swiss Kecil’ di Pulau Jawa
“Putar putar Kota Malang. Berdua ke luar malam
Spendit in kita lewati. Lewati kayutangan
Hampir pagi kita ke Batu. Dingin menusuk tulang
Pelukan hangatkan badan. Matahari di Songgoriti
Ku harus mulai dari awal lagi. Mengulang memori dalam hati
Terlalu tinggi kita mengerti. Dari Malang sampai ke Bulan”
Beberapa bait lagu D’Kross di atas menjadi pengobat rindu yang selalu mengingatkanku akan keindahan pemandangan Puncak Batu. Andai kaki ini sudah berada di puncak ini, seolah hanya tinggal beberapa langkah lagi ke bulan.
Secara fisik, Kota Batu tak berbeda jauh dengan daerah Berastagi di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kota Batu juga memiliki iklim dan suasana yang sama. Panorama alam yang indah, udara sejuk, daerah pertanian yang subur serta suasana pegunungan yang jauh dari polusi udara.
Tak hanya mengandalkan potensi wisata alam semata. Kota Batu juga dikenal dengan situs dan bangunan-bangunan peninggalan Belanda. Potensi wisata sejarah ini mulai digarap oleh pemerintah setempat menjadi kunjungan wisata bagi masyarakat yang ingin menikmati Kota Batu. Di masa penjajahan, Belanda sangat kagum dengan daerah Batu. Bahkan, Belanda menyejajarkan wilayah Batu dengan Switzerland dan memberikan predikat sebagai De Klein Switzerland atau “Swiss Kecil” di Pulau Jawa.
Kesejukan “Swiss Kecil” Pulau Jawa ini semakin komplet dengan panorama keelokan secuil sejarah di kawasan Songgoriti berupa Candi Songgoroto dan patung Ganesha nan megah. Patung peninggalan Kerajaan Singosari serta tempat peristirahatan yang dibangun sejak zaman Belanda.
Tak hanya itu, wisata lain yang tak kalah eksotisnya juga ada di sini. Sebut saja wisata gua Cangar dan Tlekung, ada juga Coban Rondo, Coban Rais serta Coban Talun. Kemudian ada pemandian air panas dan dingin yang ada di Selecta (pemandian air dingin) dan Cangar (pemandian air panas/belerang).
Mengunjungi Batu tak afdol jika tak mengungjungi tempat ini. Kusuma Agrowisata. Di sini kita merasakan segarnya berbagai buah-buahan pegunungan. Ada strowbery, jambu, jeruk dan tentunya apel. Bagi yang suka dengan tantangan, kita bisa mencoba wisata udara alias paralayang. Ada juga Batu Night Spectaculer, merupakan taman hiburan remaja dengan beberapa wahana mirip di Dunia Fantasi Ancol Jakarta. Dan yang terbaru adalah Museum Satwa.
Sayangnya, karena waktu yang terbatas. Langkah kakiku tak sampai menjejakkan kaki di semua area kawasan wisata Kota Batu. Hanya sampai di Puncak Batu. Sebuah puncak pegunungan yang selalu membuat anganku melayang jauh sambil membisikkan dan menyanyikan kata-kata rindu. Seperti halnya lagu yang dibawakan oleh D’Kross di atas. Dari Malang sampai ke Bulan.
Komentar Terbaru